Hari Bumi, Rezim Iklim dan Semangat Keadilan!
Peringatan Hari Bumi (Earth Day) setiap tanggal 22 April, merupakan satu momentum bagi semua pihak yang peduli kepada lingkungan untuk menunjukkan aksi mereka. Pada tahun 2010, peringatan Hari Bumi telah memasuki masa 40 tahun, sebuah usia yang seharusnya sudah cukup matang dalam mengekspresikan kecintaan kita pada Bumi dan Lingkungan Hidupnya. Apabila kita menilik sejarah, pertama kali peringatan Hari Bumi dilakukan pada tanggal 22 April 1970, dicatat sebagai sebuah momentum luar biasa besar dimana lebih dari 20 juta partisipan aksi, ribuan sekolah dan masyarakat secara aktif melakukan aksi untuk memprihatinkan minimnya kepedulian lingkungan selain kepentingan politik dan ekonomi pasca demonstrasi dan kampanye besar anti perang Vietnam tahun 1969. Momentum ini terkenal sebagai gerakan "teach-ins".(2)
Saat ini keprihatinan mengenai Bumi kita telah didominasi dengan permasalah perubahan iklim yang sangat mendesak untuk dipecahkan. Berbagai strategi baik melalui pertemuan para ilmuan sampai dengan pertemuan para petinggi Negara telah dijalankan. Namun sayangnya, sumberdaya yang telah dikeluarkan begitu banyak tidak menunjukkan dampak yang cukup berarti. Proses perbincangan perubahan iklim dimulai pada Konferensi PBB untuk Lingkungan dan Pembangunan pada tanggal 3-14 Juni 1992 yang juga dikenal dengan Konferensi Rio atau pertemuan puncak Bumi Earth Summit . Konferensi ini menghasilkan 27 prinsip mengenai pembangunan dan lingkungan hidup yang merupakan penguatan atas deklarasi PBB dalam konferensi Lingkungan Hidup Manusia Human Environment di Stockholm pada tanggal 16 Juni 1972. Prinsip pertama dari ke-27 prinsip hasil konferensi Rio secara nyata menegaskan bahwa manusia menjadi pusat dari pembangunan berkelanjutan yang berhak untuk hidup sehat dan produktif dalam keharmonisan dengan alam. Fakta menunjukkan bahwa pembangunan yang terjadi saat ini tidak memposisikan manusia sebagai pusatnya melainkan lebih berpusat pada ekonomi yang berbasis pada pertumbuhan dan modal.
Konferensi Rio ini kemudian ditindaklanjuti dengan konferensi di Kyoto pada tanggal 11 Desember 1997 yang menghasilkan protokol Kyoto dan ditanda tangani pada 16 Maret 1998 serta mulai berlaku pada 16 Februari 2005. Pada November 2009, tercatat telah 187 negara meratifikasi protokol ini. Protokol Kyoto bertujuan untuk mengurangi dan membatasi emisi Negara yang meratifikasinya, dimana 37 negara industri (yang sering dikenal dengan ("Annex 1 countries") berkomitmen untuk mengurangi empat gas rumah kaca (GHG) (carbon dioxide, methane, nitrous oxide, sulphur hexafluoride) secara kolektif sebesar 5.2% dari tingkat emisi pada tahun 1990. serta pembatasan dua kelompok gas yang mereka hasilkan (hydrofluorocarbons dan perfluorocarbons).
Konferensi Para Pihak (COP 13) yang diselenggarakan di Bali tanggal 3-14 Desember 2007 menghasilkan Bali Road Map yang menekankan pada empat area aksi untuk perubahan iklim yaitu mitigasi, adaptasi, teknologi, dan dukungan keuangan. Konferensi berikutnya melalui COP 14 diselenggarakan di PoznaD Polandia tanggal 1-12 Desember 2008 dengan hasil secara umum berupa kesiapan Negara Industri untuk bernegosiasi dan mendukung dana bagi pengurangan emisi melalui Dana Adaptasi Protokol Kyoto (Kyoto Protocols Adaptation Fund). Pada tanggal 7-19 Desember 2009 diselenggarakan COP-15 di Copenhagen, Denmark yang menghasilkan Copenhagen Accord dan belum bersifat tegas menghasilkan sesuatu hal yang kongkrit untuk memecahkan persoalan urgent mengenai perbedaan rumusan aksi menghadapi perubahan iklim sesuai dengan kepentingan masing-masing Negara. Paling tidak sebelum COP 15 terdapat lima kelompok Negara dengan kepentingan yang berbeda yaitu Kelompok pertama Amerika, mereka akan membuat komitmen tetapi masih menunggu China, sementara China tidak akan menjalankan komitmen mereka apabila Negara Annex I tidak melakukan sama seperti yang akan dilakukan China. Kelompok ketiga yaitu Jepang, Canada (dan Australia) dimana mereka akan membuat komitmen mereka apabila Amerika juga sudah berkomitmen. Kelompok ke-empat adalah Uni Eropa dimana mereka berpendapat penurunan emisi tidak akan berdampak besar tanpa semua Negara mengurangi emisi mereka. Kelompok ke-lima adalah Rusia yang memiliki komitmen sendiri dalam penurunan emisi. Masalah urgent yang harus dipecahkan lainnya salah satunya adalah membuat jembatan untuk menghubungkan para Negara yang masih bekerja berdasarkan Protokol Kyoto (KP) dan para Negara yang menghendaki skema baru melalui Aksi Kerjasama Jangka Panjang (long-term cooperative action /LCA), sementara laju pertumbuhan emisi terus semakin parah.
Saat ini, HARI BUMI bukan saja merupakan sebuah momentum peringatan tetapi juga sekaligus merupakan simbol (icon) bagi pejuang lingkungan dalam mempertahankan keutuhan kehidupan semua mahkluk di bumi. Namun demikian, kita masih melihat tidak adanya perubahan signifikan tatanan kehidupan umat manusia di muka Bumi yang semakin renta ini. Peradaban manusia dengan tatanan yang lebih bijaksana dalam perspektif moral dan etika hidup yang lebih bertanggung jawab untuk memelihara dan mempertahankan keutuhan ciptaanNya menjadi semakin langka. Bahkan peradaban manusia dalam jaman modern ini ditentukan dengan bagaimana kita berhasil menjadi sebuah masyarakat yang konsumtif tanpa upaya sepadan untuk melestarikan sumber daya alam.
Kita perlu menyadari bahwa permasalahan utama yang diderita Bumi kita adalah bukan hanya semata-mata fenomena fisik alam melainkan juga sangat dipengaruhi oleh kerakusan umat manusia dalam memanfaatkan alam semesta ini. Dampak dari kerusakan lingkungan saat ini secara nyata telah mengancam Bumi dan seluruh mahluk yang ada, sehingga permasalahan lingkungan secara nyata telah mulai memasuki ruang dalam dimensi etis.
Ditengah maraknya peringatan Hari Bumi, masih banyak ironi yang terus berkembang baik di kalangan pecinta lingkungan, Swasta maupun Pemerintah. Beberapa ironi tersebut adalah tidak adanya dorongan yang cukup kuat untuk melakukan perubahan khususnya kepada Negara Maju dengan memberikan sentuhan keadilan pada isu perubahan iklim. Terdapat sebelas isu utama dalam peringatan Hari Bumi tahun 2010 antara lain Advokasi, Perubahan Iklim, Konservasi dan Keanekaragaman Hayati, Pendidikan, Energi, Makanan dan Pertanian, Ekonomi Pro Lingkungan (Green Economy), Sekolah Hijau (Green School), Daur Ulang dan Pengelolaan Limbah, Pembangunan Berkelanjutan, dan Air (3). Pengorganisasian sejumlah isu tersebut dalam aksi peduli lingkungan hanya bersifat superficial dan tidak pernah menyentuh substansi permasalahan yang dihadapi bumi kita.
Melihat kecenderungan isu tersebut, nyatalah bahwa salah satu akar penyebab terjadinya kerusakan bumi ini adalah system ekonomi neoliberal. Banyak alternative aksi untuk menjawab akar permasalah tersebut yang secara substansial dapat berkontribusi untuk pemulihan kerusakan Bumi kita. Salah satu contoh aksi tersebut adalah memperbesar gelombang perubahan yang bisa digulirkan sebagai alternative terhadap paradigma pembangunan berdasarkan Capitalist Mode of Production. Slogan There is no alternative - TINA yang digulirkan oleh Perdana Menteri Inggris konservatif Margaret Thatcher harus kita imbangi dengan menggelorakan bahwa ada ribuan alternative untuk menggantikan system ekonomi Neoliberal seperti yang disuarakan oleh Susan George sebagai TATA! There are Thousands of Alternatives. Hal ini perlu kita lakukan terus menerus melalui aksi-aksi sederhana dan membumi sampai muncul perubahan sistem ekonomi neoliberal yang dominan serta jelas-jelas telah menguasai sumber daya alam bumi kita untuk kepentingan modal sebagai basis produksi mereka tanpa mempertimbangan pelestarian sumber daya secara arif dan berkeadilan.
Ironisme lainnya adalah bahwa Negara Maju dalam hal ini Amerika Serikat sebagai tempat lahirnya gerakan lingkungan Hari Bumi di Washington 40 tahun yang lalu masih nyata-nyata mempertahankan posisinya dan menjadi Climate Regime bahkan sesudah Konferensi di Copenhagen pada bulan Desember 2009 tanpa menunjukkan satu langkah progresif dalam menyelamatkan Bumi kita dari krisis perubahan iklim. Refleksi dalam peringatan tahun ini seharusnya bisa menumbuhkan kesadaran untuk mendorong perubahan pada rezim yang nyata-nyata telah menjadi perusak lingkungan melalui perubahan iklim berkeadilan.
Integritas oknum individu selain Negara, Perusahaan Swasta, dan Masyarakat dalam menunjukkan kepedulian lingkungan juga sering kali perlu dipertanyakan. Banyak aksi kampanye peduli lingkungan secara ironis juga ikut menyumbang permasalahan baik dari sampah yang ditimbulkan maupun borosnya konsumsi penggunaan energi (fossil fuel) sebagai dampak dari perilaku konsumtif dan tidak hemat.
Semangat Keadilan Iklim sebagai semangat mengatasi krisis bumi kita
Kondisi bumi kita sekarang berada pada masa krisis yang mengancam keberlangsungan kehidupan di Dunia ini. Berdasarkan laporan IPCC tahun 2007 lebih dari 90% aktivitas manusia mengakibatkan naiknya temperature dalam Abad 21 ini. Sementara konsentrasi CO2 mencapai kurang lebih 55% jika dibandingkan gas lain yang mengakibatkan effek rumah kaca. Saat ini konsentrasi CO2 di Atmosfer kita sekitar 387 ppm dan melonjak 120 ppm diatas konsentrasi CO2 pada era pra-industri tahun 1870 (IPCC, 2007). Berdasarkan trend ekonomi global yang terjadi sekarang ini, konsekuensinya akan menyebabkan kadar CO2 menjadi 450 ppm pada tahun 2030. Semakin banyak kadar CO2 di Atmosphere kita, akan semakin banyak sinar matahari yang terserap sebagai akibat efek rumah kaca sehingga suhu permukaan bumi akan semakin panas. Upaya kita untuk mengurangi efek ini adalah dengan mengurangi emisi terutama CO2.
Proyeksi global temperatur permukaan pada akhir abad 21 menunjukkan model yang beragam. Proyeksi meningkatnya temperature tersebut pada tahun 2050 akan mencapai peningkatan 2oC dan pada tahun 2100 akan meningkat 4oC. Dengan demikian apabila kita melihat konsensus IPCC untuk membatasi konsentrasi CO2 pada tingkat 450 ppm, ini berarti menahan kenaikan suhu permukaan global pada kenaikan 2oC. Komitmen ini mensyaratkan keterlibatan seluruh bangsa untuk konsisten menjalankan berbagai upaya terkait. Laporan dari Worldwatch Institute (Vital Signs, 2007), meningkatnya CO2 pada tahun 2006 disebabkan oleh berkembangnya penggunaan bahan bakar fosil, meningkatnya populasi manusia, meningkatnya pola konsumsi, dan perubahan tata guna lahan.
Dalam mengatasi krisis bumi kita, salah satu kesulitannya adalah tercapainya kesepakatan para pihak untuk mengurangi emisi dengan kemajuan yang sangat kecil. Sementara itu ancaman semakin nyata jelas menunjukkan satu gejala rezim iklim (Climate Regime) yang kejam dan tidak berkeadilan. Sebuah aksi ditingkat jaringan Organisasi Masyarakat Sipil yang mendesak untuk kita lakukan adalah dengan menggelorakan semangat keadilan iklim untuk meruntuhkan rezim perubahan iklim bagi dunia yang lebih baik.
------------------------
(1) Deputi Direktur Society for Health Education Environment and Peace, member of Climate Justice core group, Christian Conference of Asia (CCA)
(2) ". . . on April 22, 1970, Earth Day was held, one of the most remarkable happenings in the history of democracy. . . " -American Heritage Magazine, October 1993; "How the First Earth Day Came About By Senator Gaylord Nelson, Founder of Earth Day" - http://earthday.envirolink.org/history.html http://www.unep.org/Documents.Multilingual/Default.asp?documentid=78&articleid=1163
(3) http://www.earthday.org/core-issues
Repost: http://www.sheepindonesia.org/id/?page=news&viewid=44
Komentar
Posting Komentar
Berkomentarlah dengan sopan, yang sesuai dengan postingan dan tidak mengandung unsur pelecehan, pornographi, kekerasan dan juga spam.