Bukan Cita-cita [karya anak perantau]
Malam itu merupakan malam terakhirku di kampung halaman. Besok pagi buta aku sudah harus pergi ke Para Juru Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI). Maka, aku kirim pesan singkat kepada teman-teman dekat satu per satu untuk berpamitan. “Assalamu alaikum, aku pamit, ya. Mau berangkat kerja ke Malaysia. Mohon doanya, ya Sobat.” “Ah, yang bener. Kamu jadi TKI?” “Iya, aku serius. Mungkin lusa sudah terbang ke Negeri Jiran. Besok pagi aku sudah berada di PJTKI.” “Apa itu PJTKI?” Aku menjelaskan secara singkat, tapi kemudian memutuskan tidak membalas lagi. Waduh, bisa habis pulsaku kalau dibalas semuanya. Mereka seakan tak percaya akan keputusanku untuk menjadi TKI.
Jelas saja mereka tidak percaya, tak sekalipun aku pernah menyebut Malaysia. Lagipula memang tidak pernah terlintas di benakku untuk menjadi seorang TKI. Pikiranku seketika berkecamuk hebat atas keputusan ini. Rasa takut sudah jelas ada. Namun, aku berusaha tegar, memberanikan diri dengan keputusan yang telah kuambil. Cerita penganiayaan para TKI di luar negeri yang sering kudengar dari koran dan televisi membuatku gamang. Segera semua rasa takut itu kutepis jauh-jauh. Mengingat sepupuku yang berhasil membantu orang tuanya sejak kerja di mancanegara. “Malaysia, inilah negeri berjuta imigran. Berbagai bangsa ada di negeri ini, Wie. Kita bisa mencari peruntngan di sini dengan aman.”
Begitulah tutur sepupu yang sudah sepuluh tahun menjadi TKI Malaysia. “Aku pun harus jadi perempuan tangguh,” gumamku dengan segenap tekad dan semangat yang menyala dalam dada. “Kalau sepupuku bisa, mengapa aku tidak bisa?” Pagi itu langit tak secerah biasanya, tas seragam dari PJTKI yang berwarna biru langit dengan tulisan PT. Sukses Jaya, telah terisi beberapa helai baju dan barang-barang yang aku perlukan. Dengan sekuat keyakinan dan penuh harapan aku meminta restu kepada ibu bapak. Kulihat wajah ibu, bapak dan adikku. Wajah yang akan selalu kurindukan selama aku di perantauan. Tak terasa bendungan air mata yang kupertahankan akhirnya pecah jua. Aku memeluk ibuku, perempuan yang telah mengandung dan melahirkanku ke dunia fana, erat-erat serasa tak ingin kulepaskan lagi. “Mak, maafkan segala kesalahanku, ya Mak. Doakan anakmu, doakan,” lirihku nyaris tak terdengar. “Kami doakan engkau baik-baik saja di negeri orang, ya Nak,” ujar ibuku terdengar parau. “Jangan pernah melupakan sholat lima waktu, Nak,” pintas ayahku pula tak kalah sendu matanya dari mata ibuku.
Ada berjuta harapan di mata mereka. Ada penyesalan dan permintaan maaf, sebab mereka tak mampu membiayaiku kuliah. Mewujudkan cita-citaku sebagai sarjana teknik. Sebuah cita-cita yang terpaksa harus kukubur sementara. “Sambil kerja, usahakan melanjutkan sekolah, ya Kakak,” pesan adikku. “Doakan Kakak, ya Dek,” balasku memeluk tubuh si bungsu erat-erat.”Jaga Ayah dan Mamak, jangan nakal.” Air mata kami berderai, tetapi tekad semakin menguat. Harapan pun harus mulai kutanam. Aku ingin menggenggam erat cita-cita. Jangan pernah terlepas, jangan pernah! Seminggu pasca Hari Raya Idul Fitri, kakiku telah menapaki bumi bangsa Melayu, masih serumpun dengan bangsaku. Perjalanan 45 menit yang mengesankan di atas awan dengan burung besi. Perjalanan paling jauh yang pernah kutempuh. Rasa gembira, takut, berkecamuk dalam di dadaku. Inilah awal dari keputusan yang harus aku lalui apapun keadaannya. Tiba di Bandara Internasional, saat itu terkenal dengan sebutan LCCT.
Rombonganku 36 orang harus menunggu HRD perusahaan yang menjemput kami. “Halo, kalian dari Indoneisa?” Sapa hangat dua orang perempuan sebagai wakil perusahaan membuatku tenang. “Awal kebaikan, semoga,” gumamku membatin. Setidaknya menepis aura negatif yang berseliweran terus di otakku. “Mari ikut kami,” ajak mereka memandu kami menuju kendaraan di parkiran. Dari Bandara LCCT ke Ipoh tempat kami akan bekerja sangat jauh, harus menempuh perjalanan empat jam. Aku mengamati dan menikmati pemandangan yang dilalui kendaraan. Lepas dari kawasan Kuala Lumpur, kendaraan melintasi tol antar negeri, setara dengan provinsi atau kabupaten. Sejauh mata memandang di kanan dan kiri terlihat perkebunan sawit, bukit kapur menjulang tinggi, kawasan pabrik. Sesekali melewati rumah-rumah penduduk Malaysia. “Nah, selamat datang di Ipoh,” ujar pemandu kami. “Kita berada di asrama karyawan,” sambut ibu asrama yang disebut Warden. Ketakutanku tentang situasi Malaysia terkikis secara perlahan. Di asrama yang begitu besar ternyata penghuninya orang Indonesia semua. Mereka TKI sepertiku dan Warden, ibu asramanya pun orang Indonesia. Kami dibagi beberapa kelompok untuk menempati rumah yang telah ditentukan.
Kelompoku ada enam orang. Setelah dibagi kasur, piring, gelas dan sendok, kami diantar menuju rumah yang akan kami tempati. “Pril, akhirnya kita satu asrama,” ungkapku senang kepada teman satu PJTKI. April anak Kabanjahe suku Karo campur Jawa. Perawakan kecil tapi begitu energik, pemberani dan punya komitmen yang tinggi. “Bersyukurlah,” sambutnya pula senang. “Semoga kawan asrama kita tak ada yang galak,” sambungnya dengan logat Karo yang masih melekat. Walaupun dia berusaha menyembunyikan kekaroannya. “Hahaha, lucu bicaramu itu,” tawaku tak urung lepas. Maghrib menjelang, senja merona jingga merah saga. Seakan mengucapkan selamat datang. “Tetap kuat dan jalani harimu seperti senja yang merona.” Suara azan berkumandang dari corong pengeras suara. Mesjid tak terlihat, tetapi panggilan itu sangat jelas sekali. Tak ada alasan untuk abai menunaikan kewajiban menghadap-Nya. Bergegas kami membersihkan diri, mengambil wudhu dan sholat Maghrib. Kemudian kami diarahkan untuk mengambil makan malam dan berkumpul di kantin asrama. Di sini kami lebih berbaur dengan banyak orang. Cerita punya cerita ternyata dari rombonganku ada yang pernah bekerja di perusahaan ini sebelumnya. “Kak, kenapa mau balik lagi ke mari?” tanya Lian penasaran. “Di sini kerjanya enak, gaji juga lumayan. Bosnya sudah banyak yang kenal dan cukup baik. Sudah nyaman saja di sini,” jawab Nita lugas. “Sebelumnya sudah kerja berapa lama, Kak Nita?” tanyaku ingin tahu.
“Lima tahun,” sahutnya sambil tersenyum. Aku lebih banyak menyimak. Mereka ngobrol dengan cakap Melayu, terdengar fasih sekali. Sementara aku dan teman-teman yang baru pertama kali ke Malaysia berusaha mengartikan cakap mereka. “Bah! Cakap Melayu ini lucu kudengarlah!” komentar Helen. Logat Batak yang melekat di lidahnya malah membuatku geli. Aku pun lahir di Medan, tapi logatku masih kentara Jawa. Karena di rumah orang tua sangat peduli melestarikan bahasa leluhurnya. “Hahaha, iya kan? Aku pun tak mengerti apa yang dibilangnya itu,” tukas Deni, gadis Samosir ini pun lebih parah logat leluhurnya. Kami yang mendengar logat mereka saling lempar senyum, menahan geli. Perut sudah kenyang, percakapan di meja makan itu membuat kami bertambah akrab. Hari semakin kelam. Namun di depan asrama masih ramai dengan anak-anak yang baru pulang kerja, sekedar mengisi perut di warung-warung. Suasana asrama tak jauh beda dengan suasana di Indonesia. Di sini rata-rata orang Indonesia yang berjualan. Makanan Indonesia seperti mie ayam, pecal, bakso dan gorengan tetap makanan favorit anak asrama. Badan terasa letih, seharian dalam perjalanan dari Kuala Lumpur menuju Ipoh. Mata juga mulai sayu, seakan memberi isyarat untuk beristirahat. Besok pagi sekali harus sudah bangun untuk bersiap ke pabrik. Tidur malam ini begitu lena, karena rasa letih telah menggerogoti badan. Pagi ini bangun dengan semangat baru. Hari pertama kerja, serasa dagdigdug mengisi hati. Bus-bus biru langit dengan tulisan Bas Pekerja terparkir depan asrama bak semut sedang berjalan.
Suasana pagi sebelum subuh begitu ramai dengan pekerja pabrik yang akan berangkat kerja. Saling berebut bus yang mereka sukai. Sementara aku memandang dari jendela dapur ikut merasakan kehebohan mereka. “Beribu pekerja Indonesia rela meninggalkan ibu, bapak, anak dan suami. Mereka lakukan itu demi mendapatkan gaji lebih, agar bisa memperbaiki perekonomian keluarga. Termasuk aku di dalamnya,” gumamku merenung. Indonesia Tanah Air beta, hatta, negara besar serta kaya sumber daya alamnya. Namun, belum bisa menciptakan lapangan kerja yang memadai untuk rakyatnya. Pukul enam pagi kami harus sudah siap turun ke kantin untuk sarapan. Selama tiga hari makan pagi, siang dan malam dikasih secara percuma. Sampai di kantin sarapan telah tersedia, nasi lemak dan teh O. Baru pertama kali melihat nasi lemak yang jadi ciri khas makanan kegemaran orang Malaysia. “Teh O ini artinya apa?” selidikku kepada Nita. “Teh tanpa gula, tanpa susu, teh saja,” sahut Nita. Dua bulan sudah aku bekerja di pabrik, mulai terbiasa dengan aktvitas di sekitarku.
Mendadak ada kabar yang tak mengenakan. Perekonomian seluruh negara terkena krisis global termasuk pabrik kami. Awan hitam bergelayut seakan memberi kabar yang sama. Schedule leave diberlakukan untuk semua pekerja, gajiku masih belum stabil. Dua bulan bekerja masih training belum kerja penuh. Setahun lebih krisis global 2008 membuat bisnis para pemegang saham porak-poranda. Banyak perusahaan gulung tikar, tidak mampu mengimbangi krisis. Beberapa perusahaan memulangkan pekerjanya karena tidak sanggup membayar gaji. Kepingin menjerit rasanya, seminggu hanya kerja dua hari. Ketika menerima gaji serasa sesak di dada. Gaji yang diterima untuk makan sebulan pun tak cukup. Belum angsuran wajib ke agen PJTKI harus dicicil. “Aduh, macam mana pula ini?” keluh Helen. “Iya, jangankan buat angsuran ke agen. Buat makan pun masih kurang!” Aku sembunyikan berita ini dari keluarga agar mereka tidak cemas. Aku menghemat sedemikian rupa. Tak jarang hanya makan nasi satu kali saja dalam sehari. Kami tidak gratis lagi makan di kantin. Kondisi ekonomi bulan berikutnya bukan membaik, malah semakin sulit. Aku dan teman-teman kongsi belanja, agar kami tetap bisa makan. Walau hanya mie instan, telur, mie instan, telur lagi. Itupun sudah makanan mewah bagi kami.
Adakalanya aku harus minum air putih sebanyaknya, agar perut tetap kenyang. Banyak teman seangkatan memilih lari dari pekerjaan, hingga mereka jadi TKI illegal. Ada juga yang lari dengan kekasihnya. “Duh, dunia kita kok jadi nekad begitu, ya?” bisik April, matanya berkaca-kaca mengenang seorang sahabatnya yang nekad lari dengan pacarnya. “Ayo, kita cari pekerjaan sambilan saja,” ajakku. “Jika libur kerja kita masih ada kerjaan. Tidak perlu gaji besar yang penting bisa untuk makan, cukuplah.” “Jadi apa kita bagusnya?” April menatapku. “Apa sajalah yang penting halal.” “Bagaimana kalau melamar jadi tukang cuci piring atau pelayan ke restoran?” “Mengapa tidak, ayolah!” ajakku tetap semangat. Kami berdua tak malu-malu lagi demi mempertahankan hidup, harus rela menyusuri setiap kedai. Kami bertanya apakah ada lowongan pekerjaan untuk partime. Kejam memang, tapi itulah proses hidup yang kulalui. Proses agar aku kuat, tabah, dan lebih dewasa untuk menjalani kerasnya kehidupan. Seminggu aku susuri setiap lorong pertokoan. Menanyakan lowongan untuk pekerja paruh waktu. Dari satu kedai makan ke kedai makan lainnya. Dari satu restauran ke restauran lainnya. Sambil berpeluh menahan perut yang minta haknya. Akhirnya pekerjaan yang kucari dapat juga. Bekerja di kedai India sebagai tukang cuci piring. Tidak pernah terbayangkan bekerja seperti itu. Kutepiskan gengsi, malu untuk sementara waktu hingga keadaan bisnis di pabrik kembali normal. Menjadi tukang cuci piring di sebuah restoran India Muslim.
Pengalaman yang tak pernah aku lupakan. Dengan gaji pas-pasan tetap kujalani. Bos restauran meletakkanku di bagian cuci piring, karena ia tidak mau tertangkap dan izin usahanya dicabut. Ada larangan mempekerjakan tenaga asing dengan permit pekerja pabrik. Jika ketahuan pihak imigrasi aku juga akan diangkut untuk masuk bui. “Kita kerjasama yang baik sajalah, sama-sama butuh, ya,” pinta majikan India yang cukup baik memperlakukan pembantunya. “Terima kasih, Bos,” kataku tulus. Selama setahun bekerja ganda begini harus kujalani. Jika di pabrik libur maka aku akan bekerja di restauran. Setahun kemudian pabrik mulai kembali normal. Aktivitas pekerja kembali seperti biasa. Aku tak lagi bekerja di restauran India. Sesekali aku masih singgah untuk sekedar makan roti nan atau ayam tandoori. Bisnis di pabrik semakin meningkat, kerja lembur pun mulai banyak. Dari situlah aku mulai membayar cicilan ke agen PJTKI yang memberangkatanku. Mulai bisa menabung dan mengirim kepada orang tua. Tak terasa sudah dua tahun. Ingin pulang ke Tanah Air, tetapi tabungan masih sedikit untuk melanjutkan kuliah. “Maafkan belum bisa pulang, ya Mak,” kataku melalui telepon. “Mohon doa, ya Mak,” isakku tertahan.
Air mata tak urung berderai, tatkala Lebaran pertama tak bisa kumpul dengan keluarga. Manusia itu akhirnya terkondisikan dengan kebiasaan dan tuntutan hidupnya. Demikian pula aku yang terpaksa tidak bisa berkumpul dengan keluarga saat Lebaran. Sekali, dua kali, tiga kali, memasuki tahun kelima aku digelari TKI. Konon, sebagai pahlawan devisa. “Bos, aku mau pulang ke Indonesia,” kataku kepada manager, atasan langsung di Departemen tempatku bekerja. “Tolong, perpanjang kontrak saja, ya Dewie,” bujuk manager. “Di departemenmu masih membutuhkan banyak pekerja.” Aku tertegun, minta waktu untuk berpikir dan mempertimbangkan. Niatan awalku adalah mengumpulkan uang untuk melanjutkan pendidikan. Nah, apakah tabunganku cukup untuk kuliah di Indonesia? Apabila mendengar sahabat-sahabatku melalui medsos, FB, tampaknya kehidupan perekonomian di kampung saat ini sedang terpuruk. Aku sungguh mendadak bimbang. “Bagaimana menurut Mamak dan Ayah?” Meminta pertimbangan orang tua.
“Bagaimana baiknya sajalah, Nak,” kaya Ayah. “Lanjutkan saja sambil belajar, ya Nak,” putus ibuku yang sangat kusayang. Ketika manager kembali menanyaiku, aku sudah mendapat keputusan. ”Baiklah, Bos, tapi izinkan aku melanjutkan pendidikan.” Ketika menandatangani kontrak kerja kali ini, aku membuat pengajuan, selain bekerja ingin menyambung belajar. Permohonanku diizinkan asal aku tetap menyambung kontrak. Saat ini sudah tahun keenam aku menyandang gelar TKI dan mahasiswa. Setiap ada kegiatan kuliah supervisior, managerku selalu memberi izin. Ya, sahabat, meskipun seorang TKI, jangan pernah padamkan mimpi.
Penulis: Dewie Dean
Sumber: www.rri.co.id
Assalamu alaikum warohmatullahi wabarakatu.
BalasHapusSaya ingin berbagi cerita siapa tau bermanfaat kepada anda bahwa saya ini seorang TKI dari johor bahru (malaysia) dan secara tidak sengaja saya buka internet dan saya melihat komentar Ibu Yanti yg dari hongkong tentan MBAH WIRANG yg telah membantu dia menjadi sukses dan akhirnya saya juga mencoba menghubungi beliau dan alhamdulillah beliau mau membantu saya untuk memberikan nomer toto 6D dr hasil ritual beliau. dan alhamdulillah itu betul-betul terbukti tembus dan menang RM.457.000 Ringgit selama 3X putaran beliau membantu saya, saya tidak menyanka kalau saya sudah bisa sesukses ini dan ini semua berkat bantuan MBAH WIRANG,saya yang dulunya bukan siapa-siapa bahkan saya juga selalu dihina orang dan alhamdulillah kini sekaran saya sudah punya segalanya,itu semua atas bantuan beliau.Saya sangat berterimakasih banyak kepada MBAH WIRANG atas bantuan nomer togel Nya. Bagi anda yg butuh nomer togel mulai (3D/4D/5D/6D) jangan ragu atau maluh segera hubungi MBAH WIRANG di hendpone (+6282346667564) & (082346667564) insya allah beliau akan membantu anda seperti saya...